Oleh : Djouhari Kansil
Pendahuluan :Refleksi Hardiknas dan Makna Bersama
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025 kembali menjadi momen penting bagi seluruh elemen bangsa untuk merenungkan arah dan masa depan pendidikan Indonesia. Dengan mengambil semangat dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara—tokoh pendidikan nasional—Hardiknas bukan sekadar seremoni, melainkan panggilan untuk menyatukan hati, pikiran, dan aksi demi pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan berkualitas.
Setiap tahun, tema pendidikan berubah seiring zaman. Di tengah kemajuan teknologi, tantangan sosial, dan perubahan global yang cepat, kita diingatkan bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan pemerdekaan berpikir peserta didik. Pendidikan yang ideal adalah yang memanusiakan manusia.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan: ketimpangan akses pendidikan, kualitas guru yang belum merata, dan masih minimnya infrastruktur di daerah terpencil. Perubahan sudah dimulai—gerakan Merdeka Belajar, digitalisasi sekolah, dan peningkatan kompetensi guru adalah langkah maju yang patut diapresiasi.
Kini saatnya menyatukan hati—dengan empati terhadap kondisi anak-anak di pelosok negeri; menyatukan pikiran—dengan gagasan yang segar, kreatif, dan kolaboratif; serta menyatukan aksi—dengan langkah konkret yang konsisten demi kemajuan pendidikan.
Hardiknas 2025 adalah momentum untuk merekatkan semangat kebangsaan melalui pendidikan. Semangat yang tidak hanya lahir dari ruang kelas, tetapi juga dari rumah, komunitas, dan ruang digital. Pendidikan adalah urusan bersama, bukan semata tugas sekolah dan guru.
2.Tantangan Nyata di Lapangan
Meskipun sudah banyak program transformasi dilakukan oleh pemerintah, tantangan pendidikan Indonesia di lapangan tetap kompleks. Ketimpangan antara kota dan desa masih nyata: ada sekolah di pusat kota dengan fasilitas lengkap, tetapi di sisi lain, masih ada sekolah dengan bangku reyot dan kekurangan guru.
Kualitas guru juga menjadi sorotan. Banyak guru yang berdedikasi luar biasa, namun tidak sedikit pula yang belum mendapatkan pelatihan yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum baru dan perkembangan teknologi. Reformasi pendidikan tak akan berhasil tanpa memperhatikan kesejahteraan dan kompetensi tenaga pendidik.
Sementara itu, dunia kerja terus berubah. Generasi muda kini tidak hanya membutuhkan ijazah, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi. Sayangnya, sebagian sistem pendidikan kita masih kaku dan berorientasi pada hafalan. Hal ini menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan untuk menyesuaikan arah kurikulum dan metode pembelajaran.
Ketahanan pendidikan juga diuji oleh krisis global dan bencana. Pandemi COVID-19 memberi pelajaran mahal bahwa sistem pendidikan harus adaptif dan tangguh. Digitalisasi bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak agar pendidikan tetap berjalan dalam segala kondisi.
3.Harapan untuk Masa Depan Pendidikan
Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang berorientasi pada peserta didik secara holistik. Bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter kuat, empati sosial, dan semangat kewirausahaan. Harapan ini bisa dicapai jika seluruh pihak—pemerintah, masyarakat, guru, orang tua, dan siswa—bekerja sama.
Transformasi pendidikan memerlukan pendekatan ekosistem. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang pro-rakyat dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Dunia usaha dan industri perlu lebih aktif dalam mendukung pendidikan vokasi dan magang. Komunitas lokal dapat memperkuat pendidikan karakter melalui budaya dan nilai-nilai luhur.
Teknologi juga menjadi jembatan untuk pemerataan. Platform belajar daring, aplikasi pembelajaran, dan sistem manajemen sekolah digital harus diarahkan untuk menjangkau yang tidak terjangkau. Teknologi hanya alat—manusia tetap penentu utama.
Harapan lainnya adalah lahirnya pemimpin-pemimpin muda dari berbagai daerah yang terdidik, berintegritas, dan peduli pada bangsanya. Pendidikan yang baik akan menghasilkan generasi yang siap memimpin dan membangun Indonesia dengan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan cinta tanah air.
4.Mengubah Niat Baik Menjadi Gerakan Nyata
Saatnya berhenti hanya mengeluh atau menunggu perubahan dari atas. Kita semua dapat memulai dari hal kecil di lingkungan masing-masing. Guru bisa lebih kreatif dalam mengajar; orang tua bisa lebih peduli terhadap pendidikan anak; pemimpin daerah bisa lebih memperhatikan APBD untuk sektor pendidikan.
Gerakan literasi dan numerasi harus diperluas, bukan sekadar slogan. Sekolah perlu menjadi pusat belajar yang menyenangkan, aman, dan memotivasi. Anak-anak harus merasa bahwa sekolah bukan beban, tetapi tempat bertumbuh dan bermimpi.
Kolaborasi juga sangat penting. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan tinggi, dan komunitas harus bersinergi mendukung penguatan SDM pendidikan. Semangat gotong royong harus dihidupkan kembali dalam dunia pendidikan, seperti yang ditanamkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan bukan tugas satu orang atau satu lembaga saja. Ini adalah gerakan kebangsaan. Maka, setiap langkah kecil, jika dilakukan bersama, akan membawa perubahan besar.
Penutup – Menyatukan Hati, Pikiran, dan Aksi
Hardiknas 2025 mengajak kita semua untuk menyatukan hati—dengan rasa cinta terhadap anak-anak bangsa; menyatukan pikiran—dengan visi pendidikan jangka panjang; dan menyatukan aksi—dengan program nyata, terukur, dan berkelanjutan.
Kita harus terus menjaga api semangat pendidikan tetap menyala, bahkan di tengah keterbatasan. Karena masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana kita mendidik anak-anak hari ini.
Semangat Hardiknas, mari kita bangun sistem pendidikan yang tidak hanya mencetak lulusan, tetapi melahirkan manusia-manusia merdeka, cerdas, dan berbudi pekerti luhur. Kita semua adalah bagian dari perubahan itu.
Merdeka belajar bukan hanya slogan, tetapi perjuangan bersama. Mari bergandengan tangan, melangkah bersama, demi Indonesia yang lebih cerdas, adil, dan berdaya saing.
Komentar